12.21.2010

Konflik 11 tahun yang lalu di Ambon

Sepuluh tahun yang lalu, 1999, Ambon membara. Masih ingat? Kejadian itu mengagetkan kita. Di sebuah bangsa yang katanya ramah bisa pecah perang terbuka yang kental dengan sentimen perbedaan agama. Seakan perang palestina – israel menjadi begitu dekat di sebrang pulau.
Ambon menjadi medan perang. Segregasi yang telah berlangsung lama, perlahan-lahan benihnya tumbuh sejak tahun 1970an, akhirnya meledak. Dan hari-hari itu semakin mengental, mengeras. Obet lawan Acang. Ikat kepala merah lawan ikat kepala putih. Silih berganti rumah ibadah diserang. Sekian masjid dihancurkan, hingga saatnya balasan dilakukan, gereja-gereja pun berakhir sama. Jauh bertahun-tahun sebelumnya kampung muslim dan kampung kristen memang selalu terpisah. Dan pada saat itu pemisahan itupun menjadi pembatas yang sangat jelas akan wilayah kendali dan pertahanan masing-masing.
Hari-hari itu panasnya memang terasa begitu meluas. Kabar berita kekerasan menyebar begitu cepat, foto-foto pembantaian beredar di media, sampai ke mailbox kita, menggelisahkan dan memancing amarah. Persis seperti hari-hari ini yang kita saksikan dari Palestina. Seruan jihad menggema dari mana-mana. Terdengar dan bergaung begitu kuat hingga di kampus-kampus. Dan nyata, berangkatlah dari berbagai tempat di indonesia para sukarelawan itu, juga dari kampus ITB.
Di tahun 1999 itu, tak bisa disangkal, pertanyaan yang sangat menggelisahkan itu pun mengusik saya. Haruskah saya berangkat ke Ambon? Pantaskah saya tetap di bandung, menikmati nyamannya kampus setiap hari sementara di sana api membara? Apakah tersedia sebab, alasan, keharusan yang layak untuk saya tetap ada di bandung. Apakah saya harus berangkat?
Bukan pertanyaan mudah. Apalagi saya menyaksikan sendiri beberapa rekan saya berangkat ke Ambon. Mereka tinggalkan kampus sekian bulan lamanya. Menyatu dengan saudara-saudara di Ambon. Sebagian pulang, ada juga yang menjemput syahid di sana. Uuh Muhdi Zaini, teman saya di Asrama Sangkuriang (rumah H) ITB, berangkat untuk kemudian kembali. Sementara Cecep Sumantri, ia berangkat untuk syahid di sana. Ia mahasiswa Fisika angkatan 98.
Tiga tahun lebih konflik itu berlangsung. Membuat siapapun yang peduli dan benar-benar menginginkan penyelesaian menjadi frustasi. Sungguh. Apalagi mereka yang berada di tengah-tengah api membara itu. Tiga tahun lebih. Sampai kemudian api amarah itu perlahan redup ditiup waktu, dan akal sehat pun perlahan menyadarkan bahwa mereka membutuhkan perdamaian. Sampai kemudian hati mereka sudi kembali untuk berkata “Kitorang Basudara”.
Seperti yang terjadi jauh di timur tengah sana, di dekat kita pun pernah terjadi peristiwa yang menyerupai. Konflik yang begitu keras, panas, menimbulkan ribuan korban dan membekaskan luka yang dalam. Mengajak kita menyelam dalam merenungi kadar kemanusiaan bangsa kita, dan umat manusia seisi dunia. Mencetuskan pertanyaan, gugatan, dan sekian kali kegamangan. Membuat kita berfikir ulang tentang seberapa kekuatan nurani kita, seberapa dewasa mental kita, seberapa murni fitrah dan kesadaran kemanusiaan kita, yang akan menentukan seberapa kemampuan kita menciptakan madani di indonesia.
Dan bahwa pada akhirnya perdamaian bisa mereka hadirkan kembali, semestinya menggugah nurani kita untuk mengambil pelajaran. Bagaimana pun juga, dalam perbedaan-perbedaan manusiawi kita semestinya tetap dapat hidup berdampingan. Jika saya tidak salah, itulah madani.
Diberdayakan oleh Blogger.